Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur disakiti, diperhatikan dikecewakan, didengar diabaikan, dibantu ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian….
Namaku jane marisa, orang–orang di sekitarku memanggilku dengan sebutan jane, aku berusia 18 tahun dan masih menjalani sekolah menengah umum di ibu kota sambil bekerja, jauh dari orangtua. Aku tiggal seorang diri di sebuah kost kostan yang sederhana tetapi cukup terlihat sangat berjasa karena telah menemaniku sudah tiga tahun lamanya, sudah tiga tahun lamanya aku meninggalkan kampung halamanku dengan tujuan ingin melanjutkan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi lagi, agar kelak orangtuaku bangga akan diriku. Karena orangtuaku bukanlah dari kalangan keluarga yang berada, sehingga orangtuaku hanya menyekolahkanku sampai ke sekolah menengah pertama. Tapi aku tetap bersyukur, dan itu semua memotivasiku untuk merantau ke ibu kota, sekolah sambil bekerja, walau berat akhirnya orangtuaku merelakanku untuk mengadu nasib di ibu kota, pekanbaru.
Aku harus bekerja keras untuk menggapai cita citaku menjadi seorang penulis dan aku sangat bersyukur di tahun pertama aku menginjakan kaki di pekanbaru, riau aku mendapatkan pelatihan tata rias, dan yang sangat menjadi sebuah keajaiban bagiku adalah, semua ini gratis karena milik dinas sosial.
Enam bulan pelatihan itu aku geluti dan tekuni, dan setelah selesai allahmdulillah aku langsung bekerja di sebuah sanggar kecantikan. Aku adalah tipe wanita yang dingin terhadap lelaki, sehingga jarang teman lelaki yang berniat mendekati ataupun sekedar untuk berkenalan denganku, dan sifat itu yang ingin aku rubah, seiring berjalanya waktu, ternyata aku sadar, aku butuh banyak teman untuk berbagi atau bertukar pikiran.
Pelan-pelan sifat dingin yang ada padaku akhirnya dapat ku atasi, sejak ujian akhir nasional di smu tempat ku mengenyam pendidikan lanjutan, aku lebih menjadi orang yang terbuka, apalagi sejak aku bertemu kembali dengan beby yusdira, teman semasa aku mengikuti pelatihan tata rias, hari-hariku lebih berwarna, sudah mulai kurasakan indahnya persahabatan, walau terkadang pendapat kami tidak sejalan, tapi itu tidak membuat kami terpecah belah, beby banyak mengajarkanku tentang perkenalan diri terhadap lingkungan, membantuku berkenalan dengan teman teman di smu ku, dan beby juga memberi semangat kekompakan terhadapku, dan selalu mengajaku mengenakan baju yang serupa di setiap kesempatan jalan berdua.
Suatu hari beby menyuruhku menghubungi ketua kelas kami yang tidak pernah hadir untuk segera hadir dan membentuk acara persiapan utuk perpisahan, aku pun tidak keberatan utuk menerima tugas kecil dari sahabatku.
Malam harinya langsung ku kirim pesan lewat handphoneku, dan aku merasa sangat kesal dan kecewa karena isi pesan yang ku kirim dan yang ia balas selalu tak sesuai dan tidak kumengerti, kejadian ini terjadi berulang-ulang dan membuatku sangat penasaran siapa ketua kelasku itu, semua kejadian itu aku ceritakan pada beby, beby hanya tertawa dan menjelaskan bahwa itulah alasanya beby malas menghubungi ketua kelas kami itu dan akhirnya beby menyuruhku untuk menghubungi ketua kelasku yang menurut beby bernama imam. Aku benar-benar kesal dan bermaksud langsung ingin menemui imam sewaktu uan yang akan diadakan seminggu lagi. Sekolah kami tidak mewajibkan setiap murid harus datang, itulah sebabnya imam tidak pernah menampakan batang hidungnya di kelas.
Inilah saat yang teramat ditunggu-tunggu, akhirnya uan diadakan, semua murid berjumlah lima ratus peserta ujian yang berasal dari berbagi sekolah, kami mengadakan ujian bersama di sebuah sekolah negeri pusat kota. Sekolah kami terbagi menjadi tiga kelas yang masing-masing kelas berisi sepuluh murid, sayangnya aku tidak sekelas dengan beby, dari sepuluh murid di kelas sama sekali tidak ada yang aku kenali. Aku duduk di sudut belakang kelas. Sebelum ujian dimulai aku iseng mengirim pesan pada imam menyuruhnya kembali menyelesaikan tugasnya mengurus persiapan perpisahan. Setelah mengirim pesan itu bersamaan cowok yang duduk di depanku membuka handphoneya, dan tertawa terpingkal pingkal, aku tak tahu apa maksudnya, dan aku segera menyadari bahwa dialah yang bernama imam. Yang sudah membuat aku kesal seminggu penuh pekan ini. Imam tidak membalas pesan dariku ketika kami melihat seorang guru datang membagikan soal ujian, kami megerjakan dengan teliti sampai tiba saatnya soal harus dikumpulkan kembali. Aku cepat duduk di teras luar kelas, cowok yang sangat ku yakini bernama imam menghampiriku dan tertawa lagi.
“lo yang namanya imam, ketua kels kami?” tanyaku penasaran plus wajahku sudah merah karena begitu sangat kesal.
Beby datang menghampiriku dan senyum senyum sendiri melihat imam yang tak hentinya tertawa.
“jadi lo yang namanya jane, jane marisa yang gak bosen-bosenya nyuruh gue nyelesain persiapan perpisahan yang konyol itu?” “hahahahaaaa”
Imam tak juga henti-hentinya tertawa dan tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya, malah ia memberikan lelucon yang membuat marahku padam beserta beby yang ikut-ikutan tertawa juga.
Tiba-tiba malah timbul rasa simpatiku terhadap imam yang humoris, dia diluar dugaanku. Sudah lama aku mendambakan tawa lepas begini, imam cepat sekali berbaur dengan teman-teman yang lain sehingga ia mmbuatku tertarik dan membuatku lebih sering tetawa oleh hal-hal konyol yang muncul di setiap pembicaraan kami, beby mengaku senang melihat ku, mungkin ini kali pertama beby melihat ku begitu ceria dan akrab terhadap seorang cowok. Imam mengenalkanku kepada sahabat karibnya, hamid yang begitu pendiam dan tertutup tetapi ternyata begitu dewasa dan humoris.
Tiga hari terakhir kami selalu bersama-sama untuk akhirnya saling bertukar piikiran, beby menyarankan agar kami mengadakan kerja kelompok untuk menghadapi un bahasa inggris yaang terkenal sulit esok hari. Kami pun menyetujuinya dan keja kelompok akan diadakan di rumah zaza, seorang teman yang baru ku kenal siang tadi di kelas, zaza berbaik hati akan menjemput aku dan beby, zaza banyak bercerita tentang kekagumanya terhadap imam, lalu ku tangkap signal bahwa zaza jatuh hati pada imam. Ketika ia menceritakan itu, aku dan beby tertawa, ternyata cowok humoris dan konyol itu punya pengaggum rahasia. Zaza hanya tersenyum manis, rona merah jambu terpancar di pipinya, ia benar-benar kelihatan sedang jatuh hati.
Setibanya kami di kediaman zaza, ternyata yang lain sudah menunggu, dan saling memperkenalkan diri satu dengan yang lain, ada rasa bahagia yang muncul dari dalam lubuk hati ini, kebersamaan yang sangat indah, sangat nyaman saat berada di dekat mereka, mereka begitu bersemangat untuk melanjutkan pendidikan yang sama-sama kami jalani saat ini. Setelah selesai mengerjakan kerja kelompok kami pun pulang ke tempat tinggal masing-masing, jam sudah meunjukan pukul 22.00 wib.
Mata ku sudah terpejam, dan terbangun mendengar handphoneku berbunyi, ternyata pesan dari imam, ia memberitahukan bahwa ada seorang temanya ingin meminta nomor telfonku, dan aku tidak keberatan atas itu, selang berapa menit masuk pesan yang langsung mengenalkan diri, ia mengaku bernama gazi alviano, usianya 2 tahun lebih tua dariku.
Aku masih terus bersyukur karena telah dipertemukan dengan teman-teman yang senasib di dalam melanjutkan sekolah.
Handphoneku yang dahulu terasa sunyi, kini tak lagi sunyi, selalu ada pesan-pesan baru dari para sahabat-sahabatku, yang membuat ku selalu tersenyum bahagia.
Uan telah berakhir, teman-teman mengajak untuk berjalan-jalan menuju sebuah danau yang tidak jauh dari sekolah kami.
Ketika sedang asik berbincang-bincang dengan gazi, beby datang dan mengejutkanku.
“hayoooo, jane lu balik sama siapa?” tanyanya sambil memperhatikan gazi.
“bareng sama gua beb.” senyum gazi sambil mengulurkan tanganya bermaksud mengenalkan diri, beby menyambut perkenalan itu dengan senyuman. Gazi sudah meminta izin padaku ketika tadi hendak kelur kelas, dan aku pun menyetujuinya.
“oke, have fun di jalan ya…” kata beby sembari berlalu.
Di sepanjang perjalanan menuju danau gazi banyak bercerita mengenai cita-cita, pekerjaan dan keluarganya, yang membuatku terkagum-kagum dan termotivasi dengan harapanya yang ingin menjadi seorang guru, itu hal sangat mulia komentarku.
Sesampainya di danau, kami berfoto ria dengan gaya masing-masing, semua terasa sangat nyaman, di tambah dengan angin yang sepoi-sepoi, kicau burung di sana sini, seolah ikut tertawa dan menyaksikan kebersamaan yang indah di senja itu.
Matahari mulai menyembunyikan sinarnya di ufuk barat, tanda kami harus pulang ke tempat tinggal masing-masing, tercetus sebuah rencana untuk mengadakan kemping bersama di sebuah hutan lindung alam yang terbuka dan pantas, ini sangat menantang, anak-anak menyetujui rencana yang akan kami adakan esok malam. Sebelum kami pulang, hamid memimpin menjadi imam untuk melkasanaakan ibadah sholat magrib di sebuah mushola di pinggir danau.
Keesokan harinya, kami telah siap untuk berangkat, masing-masing membawa perbekalan yang diperlukan. Kami memilih sebuah tempat yang paling dekat dengan kota untuk menjaga keamanan dan kenyamanan berkemping. Beby, zaza, mawar, rara dan aku memutuskan untuk bersama-sama dalam satu tenda, lain halnya dengan kelompok imam yang memilih untuk bersama-sama dalam satu tenda dengan hamid, gazi dan seorang cowok jangkung dan rapi yang secara peribadi belum ku kenali. Mereka terlihat sangat akrab, imam mengajak teman-teman cowok yang lain utuk membeli ayam. Ayam-ayam itu akan dipanggang pada malam puncak api unggun, moment yang sangat kunanti-nantikan.
Api sudah menyala membara di tengah kemah-kemah kami, anak-anak yang lain sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang memanggang ayam, membakar jagung. Imam, gazi dan hamid menari-nari ria diiringi musik beage yang berjudul malam minggu, kami tertawa terbahak melihat tingkah ketiga sekarib itu, sementara di sebelahku cowok jakung yang ku lihat sore tadi yang bernama mike bermain gitar dengan mengiringi anak-anak wanita yang lain menyanyikan lagu favoritku, adele, someone like you.
Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 00.30 wib dini hari, imam mengingatkan agar segera masuk ke tenda masing-masing, gazi menghampiriku dan mengingatkanku untuk berhati-hati di dalam kemah, aku tersenyum dan berterimakasih atas keperdulianya terhadapku. Dengan langkah tertatih karena kelamaan duduk, aku pun melangkah menuju kemah, tapi langkahku terhenti karena ada seseorang yang menarik lenganku, aku terkejut, ternyata orang itu mike.
“ada apa mike?” tanyaku kebingungan, sementara anak-anak memandangi kami.
“gua cuma mau bilang kalau gua suka sama lo jane marisa!” katanya lantang sambil memandangiku, anak-anak bersorak sorak, ku lihat gazi mengerutkan kening. Aku celingukan dan tidak berkedip memandagi mike karena kebingungan, aku tak kenal dengan mike, mengapa ia begitu berani mengatakan itu pada ku. Aku melepaskan genggamanya tanpa memberikan kata-kata aku segera berlalu menhampiri beby yang senyum-senyum sendiri sembari berbisik, bahwa mike sudah memperhatikanku sejak ujian pertama dan banyak bertanya tentangku kepada beby, aku terkejut dan mencubitnya, menyesalkan mengapa beby tak memberitahuku. Beby meminta maaf dan beralasan lupa mengatakanya padaku.
“wahhhh, berani banget mike mengatakan itu pada lo jane, apa dia gak sadar kalau lo lagi dideketin sama gazi?” timpal mawar ketika kami berada di dalam tenda.
“gua juga bingung nih, gua baru juga kenal sama mike, terus, wah gua bingung nih, ada apa sih sebenarnya…” tanyaku pada teman-temanku di dalam tenda. Mereka masing-masing menggelengkan kepala. Hanya zaza yang masih senyum-senyum sendiri karena seharian bisa bersama imam. Aku pun jadi ikut tersenyum, seolah merasakan apa yang sedang dialami zaza.
Pagi-pagi sekali kami suah berkemas-kemas hendak pulang ke rumah masing-masing, aku sejak tadi mondar mandir ke sana kemari mencari gazi, karena sudah janji akan pulang denganya, tapi sejak tadi tak kulihat batang hidungnya. Ku lihat imam sudah hendak bergegas pulang bersama zaza, cepat-cepat ku hampiri.
“itik, lo nampak gazi, tau dia ke mana?” tanyaku sepontan mengejutkan keduanya.
“eh cicak, udah balik kali cicak, gara-gara sakit hati masalah tadi malam tu, lo sama mike!” kata imam sembari menggandeng lengan zaza, aku tersenyum tipis melihat kedua tingkah sahabatku itu, zaza kelihatan masih malu-malu saat berada di hadapanku.
“ya ampun, kan gua gak ada jawab apa-apa ke mike…!” kataku menyesalkan kejadian tadi malam.
“ya udah, lo tenang aja, ntar gua jelasin deh ke om gazi alviano, biar semuanya cepet rebes…!”
“beres imam, keseleo ya lidahnya…!” akhirnya zaza membuka mulut juga dan membenarkan perkataan imam yang salah.
“hahahaaa, iya iya, itu maksud gua za…!” di saat begini pun, imam masih bisa membuat suasana mencair dan tidak tegang.
“udah lo balik sama mike aja jane, tuh udah nungguin lo dari tadi…” beby muncul sambil menggendong ransel hitam bercorakan lambang scorpions yang unik dan menarik.
“ge mana mam?” tanyaku berharap imam memberikan pendapat.
“ya udah gak apa-apa, lagian lo mau balik sama siapa coba, yang lain udah pada balik tu, emang lo mau baliknya sama tukang kayu yang barusan lewat, biar dijadiin bahan baku lemari, mau lo…?” kali ini imam membuat humor yang agak menyeramkan bagiku.
“ih, gak deh mam, lo ada-ada aja…!” aku meringis sambil mengotak ngatik handphoneku berharap gazi menghubungiku, tapi kenyataanya tidak.
“hahaha, ya udah cicak, gua nunggu di seberang ya, pangeran tu pangeran lo udah menunggu…” sekali lagi imam tak henti-hentinya mengejeku.
Akhirnya dengan langkah yang terburu-buru ku hampiri mike.
“gi mana jane, lo balik sama gua aja, lagian gazi udah balik subuh-subuh tadi!” dengan santai mike membantuku menaikan barang-barangku ke atas motornya.
Aku mendengus, dan kami pun perlahan sudah menyusuri jalan.
“lo kenapa sih mike ngomong begitu tadi malam” tanyaku memberanikan diri.
“oh, itu, ya gua cuma ungkapin apa yang gua rasa aja jane…!”
“tanpa berfikir terlebih dahulu, lo menyakiti hati gazi?” mike hanya terseyum dan melanjutkan.
“gua kan gak nembak lo, gazi juga kan belum tentu suka sama lo” mike terlihat sangat mudah mengatakan hal-hal seperti itu, yang membuat aku bingnung dengan tingkahnya, seolah tidak terjadi apa-apa malam itu.
“sejujurnya gua cuma ingin bersahabat dengan lo mau pun gazi mike.”
“tetapi perasaan gak memihak jane marisa, itu sih terserah lo…!” perkataan mike ini sangat menyudutkan posisiku. Tanpa sengaja ku pandangi arah belakang, aku kaget di belakang ada gazi, dan segera melaju dengan cepat saat menyadari aku sudah mengetahui kehadirannya.
Dua minggu telah berlalu dengan cepatnya, setelah kejadian itu aku terus mencoba memperbaiki suasana dengan mengajak gazi untuk diner di sebuah restoran khas melayu.
“lo baik-baik aja kan zi?” kataku sambil menatapnya dalam.
“gak apa-apa kok jane, gua tau lo gak terima kan tembakan dari cowok itu?” aku langsung tertawa saat itu juga.
‘lo tau gak, mike sendiri yang bilang ke gua, kalau dia gak nembak gua, mike cuma mengutarakan isi hatinya doang..!” aku tak henti-hentinya tertawa, menyibuk-nyibukan diri sendiri, tanpa ku sadari gazi terus memperhatikanku, aku merasa risih dengan keadaan itu.
“gua sayang sama lo jane..!” tawaku lansung terhenti dan memukul pundaknya, ku sadari gazi lebih terlihat kurus dibanding dua minggu terakhir aku melihatnya.
“thanks zi lo udah sayang sama gua, tapi gua gak bisa!”
“kenapa, lo lebih memilih mike?”
“lo salah, gua gak ingin tawa kita ini hilang, gua meridukan sesosok sahabat dan bukan pacar, gua takut kehilangan kalian semua, gua baru menemukan ini semua, gua gak punya siapa-siapa di kota ini, makannya gua sangat bersyukur di pertemukan dengan kalian semua, gua takut pacaran akan menghancurkan semuanya zi!” kali ini airmataku menetes, mengingat akan tujuanku merantau ke kota.
Gazi kelihatan sangat kecewa, namun ia mencoba tersenyum.
“kita balik yuk, udah malam!”
Kata-katanya menyadarkanku bahwa hari semangkin larut.
Satu minggu berlalu, tidak ada kabar apa-apa dari gazi, bak ditelan bumi sejak kejadian malam itu. Imam, hamid, zaza dan beby menghampiriku di kost, sambil membawakan breadtalk kesukaanku.
“jane, lo sebenarnya ada rasa gak sama gazi?” imam duduk bersila di hadapanku di ikuti zaza, sedang hamid dan beby asik berebut brownies yang ku buat pagi tadi.
“rasa itu sebatas sahabat mam!”
“lo tau gak jane, kata imam, kalau lo udah jadian sama gazi, baru imam mau nembak gua” sambar zaza sambil mencubit lengan imam yang lalu menjerit kesakitan.
“baiklah, gua akan coba sayang sama gazi melebihi sahabat, gua gak mau yang lain mendengar berita ini, karena gua takut yang lain malah pada menjauh!” jawabku lirih, karena sudah mengambil keputusan. Hamid memandangiku, aku selalu tenang ketika berhasil mendapatkan pandanganya, walaupun ia terdiam tapi seolah kami telah berbicara dan saling menyejukan hati.
Malamnya tanpa membuang-buang waktu ku kirim massage kepada gazi bahwaaku akan mencoba sayang padanya. Gazi merespon tanggapanku.
Setelah itu kami selalu berjalan bersama-sama kemanapun kami suka. Tapi itu tak berlangsung lama, karena gazi kini lebih kelihatan sibuk dengan pekerjaanya, sudah jarang kabar mengkabari aku lagi, terakhir gazi bercerita bahwa ia akan melakukan operasi, karena penyakit kronis yang menyerangnya, aku kaget dan sangat mengkhwatirkanya sahabat-sahabatku yang lain mencoba menenangkan dan mencoba menghiburku. Ketakutanku selama ini akhirnya terjadi, tak ada kabar apa-apa dari gazi, bahkan pesan dan email yang ku kirim tak pernah mendapatkan respon dari gazi, ini membuat batinku lirih, mengapa saat aku sudah dapat menaklukan rasa, gazi malah menghilang dan membuatku sangat kecewa.
Mike tiba-tiba datang dan sering menghiburku dan sering mengajaku bertanding basket, mike tau aku sangat menyukai basket dari beby. Ketika aku sedang penuh dengan peluh yang membasahi, ku dapati handphoneku berdering. Pesan dari gazi ku buka cepat-cepat.
“gua gak nyangka, secepat itu lo jalan sama cowok lain jane, thanks buat semuanya”
Aku kebingungan mencari sosoknya di sekeliling lapangan basket, tapi tak juga dapat ku temui, aku merasa terpukul gazi telah berfikiran buruk tentangku, aku sudah menjelaskan berkali-kali tetapi gazi sama sekali tidak merespon usaha-usahaku. Bahkan ia tidak ingin berjumpa denganku. Tanpa ku sadari aku meneteskan airmata suatu malam di lapangan basket bersama mike, mike memberikanku selembar tisu, ia seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Kini aku benar-benar menyadari besarnya arti persahabatan dibandingkan dengan mengikat suatu jalinan tanpa iktan yang benar-benar suci. Tapi aku selalu berusaha untuk mengembalikan persahabatan itu lagi, tapi gazi seolah sangat membenciku dengan alasan yang belum ku mengerti. Zaza menghampiri ku, dan berkata bahwa gazi tidak ingin berjumpa denganku,dan yang sangat menyentuh hatiku, zaza mengatakan pada ku, bahwa gazi ingin mencari kekasih yang lebih baik dariku, aku terpukul ingin berlari menghampirinya tapi semua nihil.
Tidak terasa satu bulan telah berlalu, kabar itu benar-benar nyata, gazi telah menemukan dambaan hatinya, aku mencoba ikhlas dan merelakan semuanya, hamid, imam, zaza dan beby selalu mencoba menghibur akan keterpurukanku, aku berfikir mungkin inilah yang terbaik. Tersirat di benakku, tak akan ku ulang kisah sepahit ini lagi, aku lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Enam bulan kemudian.
Hamid dan imam mengabari kabar bahagia dari mereka, mereka masuk ke univrsitas muhamadiyah yang sangat ku incar-incar itu, aku merasa bangga dengan mereka, dan itu membuatku termotivasi untuk cepat menyusul dengan mereka dan membuatku bekerja lebih keras lagi. Zaza dan beby memutuskan untuk memasuki universitas itu tahun depan bersama-samaku karena keterbatasan biaya.
Hamid dan imam pagi-pagi sekali menghampiriku di kosat, saat baru saja ku bukakan pintu dan mereka sampai lupa mengucapkan salam, imam langsung berkata padaku. Bahwa gazi akan melakukan opersai pagi ini di salah satu rsud di kota, tanpa banyak bicara kami langsung menuju rumah sakit.
Sesampainya di ruang tunggu, ku lihat zaza, beby bahkan mike sudah ada di sana, aku buru-buru memandangi ke arah gazi yang terhalang oleh kaca pintu, ku lihat gazi sangat lemah, seorang wanita berparas anggun menemaninya di dalam ruangan itu, dia pasti kekasihnya, fikirku. Timbul rasa lirih di hati dan rasa iba pada gazi, hamid menghampiriku dan menepuk pundaku.
“bagaimana pun, dia masih sahabat lo jane!” aku menganggukan kepala dan memeluk hamid disusul gazi yang keluar bersama wanita berparas anggun itu mengenakan kursi roda, tanpa basa basi ku hampiri gazi.
“mengapa lo begitu bodoh sekali gazi alviano yang buruk rupa, mengapa tak dari dulu kita pertahankan persahabatan kita dan mengalahkan ego yang tidak berguna di dalam diri kita” kata-kataku terhenti, air mata menetes di pipiku lalu melanjutkan kata-kataku “tapi jujur, lo kelihatan tampak cocok denganya!” kataku sambil tersenyum dalam tangisan, sambil menepuk pundak wanita yang ada di sampingku.
“namanya nadia, lo memang buruk rupa yang bodoh juga jane, amat bodoh, mengapa lo terima gua dulu kalau lo gak pernah bisa sayang sama gua!” gazi berdiri dan memeluku, suasana menjadi sangat haru.
“gua udah gak peduli sama masa-masa kebodohan kita berdua itu lagi, yang penting lo harus cepat sembuh buruk rupa, kita harus bisa mewujudkan cita-cita kita, semangat…!!” timpalku lagi sambil tersenyum memberikan semangat.
“ia za, thanks, maafin gua ya, buat temen-temen semua, maafin segala keegoan gua, gua bahagia kalian masih peduli sama gua…!” anak-anak serempak menganggukan kepala.
“lah, lah, kok jadi menderama ngene toh… Aku kan jadi melu sedih….!” imam yang kocak langsung hendak memeluk zaza lalu ditangkas oleh hamid.
“bukan mukhrim…!”
Semua tertawa, bahagia, tawa ini sudah sempat hilang beberapa bulan lamanya. Aku tak tau harus berbuat apa, menangis dan tertawa mengiringi langkahku saat ini, tapi sejujurnya aku sangat bahagia telah ku kalahkan rasa benci dan kecewa di hati, aku bangga telah menukar rasa cintaku untuk merebut kembali canda tawa persahabatan ini, aku merasa menang dari sebuah keterpurukan, menjadi sadar besarnya arti persahabatan.
Pacar tidak selalu bisa menjadi sahabat yang baik ketika ia harus pergi, tetapi sahabat akan tetap selalu menjaga kebaikanya walaupun ia harus hilang dan tiada sekalipun di dunia lagi. Pacar sewaktu waktu dapat mengucapkan kata putus, di dalam persahabatan tak mengenal kata putus.
Ini saatnya melangkah menyusuri cita-cita yang terbentang indah di depan sana, dengan berbekal do’a dari orangtua, keluarga dan sahabat-sahabat yang akan selalu di hati.
the end